Pensiunan suster dari Inggris ini bukanlah sosok lanjut usia yang
penyakitan dan merepotkan. Tak juga pemurung atau kurang bahagia. Justru
sebaliknya, meski usianya sudah sepuh, 75 tahun, Gill Pharoah sangat
sehat baik mental maupun fisiknya.
Dalam kondisi demikian, anehnya ia malah memilih untuk mengakhiri hidup dengan suntikan mematikan di sebuah klinik euthanasia di Swiss.
Gill yang seumur hidupnya bekerja untuk para lanjut usia (lansia), ternyata mengaku takut sakit parah saat semakin menua nanti.
Seperti dikutip dari Washington Post,
Gill berangkat ke kota Basel di Swiss bersama partner seumur hidupnya,
John Southall, untuk mengakhiri hidupnya. Kasus euthanasia di Inggris
telah menjadi perdebatan tersendiri.
Mereka yang menentang
praktek ini mempunyai ketakutan sendiri bahwa akan banyak orang-orang
sehat memilih menghentikan hidupnya sendiri. Sementara itu, bagi yang
setuju dengan hukum ini, berpendapat bahwa manusia punya pilihan.
Lansia punya ketakutan akan ketidakberdayaan saat mereka sakit atau
menua. Oleh karena itu, sebelum mereka mencapai pada tahap tersebut,
mereka berharap bisa mengakhiri hidup.
Dalam wawancara dengan Sunday Time, sebelum kematiannya, Gill yang seorang pensiunan terlihat masih aktif dan sehat.
"Aku telah banyak melihat orang yang tua, yang hidup maupun yang
mati. Seumur hidupku, selama aku bekerja sebagai seorang suster," kata
Gill.
"Selama itu pula aku selalu mengatakan pada diriku, 'Aku tidak akan
menjadi tua, aku pikir usia tua tidaklah menyenangkan. Aku tidak mau
orang mengingatku sebagai perempuan tua bungkuk yang berjalan
tertatih-tatih membawa belanjaan dengan troli," tutur Gill.
Tiga
minggu sebelum kematiannya, Gill mengundang teman-teman dekat untuk
bercengkrama di belakang rumahnya di London. Ia bercanda tentang
pucatnya kulit kaki pasangan hidupnya yang telah bersama selama 25
tahun.
Partner Gill, John Southall mengatakan bahwa Gill takut
terkena stroke. "Ia punya teman dekat yang terkena stroke. Ia harus
berada di tempat tidur selama 10 tahun dengan kondisi yang menyedihkan.
Baik dia dan Gill tidak suka dengan kondisi ini," ucap John.
"Andai Inggris punya undang-undang yang membolehkan kita menulis
surat wasiat tentang petunjuk kematian seperti 'kalau saya terkena
stroke yang membuat saya tidak bisa berbuat apa-apa, saya ingin
mengambil langkah medis untuk mati,' Gill tentu tidak akan begitu takut
menghadapi stroke," jelas John.
"Aku yakin, Gill akan senang
sekali dan dia berani hidup lebih lama. Sayangnya kami tidak punya
peraturan itu, dan dia tidak mau ambil resiko," tambah John.
Menurut
riset tahun 2014 yang dilakukan oleh Universitas Zurich, pada 2008
hingga 2012 ada 611 orang pergi ke Swiss untuk 'mencabut nyawa'. 126 Di
antaranya berasal dari Inggris.
"Kami pergi ke hotel. Lalu dokter
datang dan dia mewawancarai Gill. Malamnya kami berdua makan malam.
Paginya, kami ke klinik di mana Gill mengakhiri hidupnya," beber John.
"Lalu
aku telepon anak-anak Gill, mengabari ibu mereka telah meninggal.
Setelah itu ke bandara, pulang ke Inggris. Jujur, aku lebih takut ke
dokter gigi dibanding ini," ujar John kepada surat kabar tersebut.
Gill
Pharoah meninggalkan seorang anak perempuan di California, anak dan
cucu lak-laki di Australia. Ia bekerja sebagai suster di rumah sakit dan
komunitas serta menghabiskan sisa karirnya di rumah jompo.
Ia
juga penulis buku berjudul 'How to Manage Family Illness at Home' dan
'Careers in Caring'. Artikel terakhirnya diterbitkan di Times, tentang betapa mahalnya obat-obatan untuk untuk pasien lanjut usia yang menderita penyakit parah.
Dalam artikelnya itu, Gill bercerita tentang kehidupan para lansia yang sudah tidak bisa melakukan apa-apa lagi.
"Orang-orang yang tidak mengerti (euthanasia), seharusnya bekerja beberapa bulan di care home
di mana para pasien menjadi pikun, ngompol, tidak bisa mengurus dirinya
sendiri, bahkan tak ada yang mengunjungi," kisah Gill. (Rie/Tnt/Liputan6.com)
No comments:
Post a Comment